
Kenapa Gen Z Cocok Jadi Agen Perubahan dalam Perbaikan Berkelanjutan (Continuous Improvement)
Dalam suatu kesempatan, Kami membantu sebuah perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) di bidang manufaktur untuk menerapkan program Continuous Improvement (CI).
Seperti biasa, Kami mulai dengan mengamati proses, berbicara dengan manajer, lalu mendampingi tim lintas fungsi menjalankan improvement project. Tapi yang menarik, di antara semua peserta workshop, justru seorang karyawan baru—fresh graduate—yang belum genap enam bulan bekerja, memberi masukan paling tajam.
Dia bertanya, “Kenapa proses ini harus lewat approval manual? Bukankah bisa disederhanakan dengan sistem yang sudah ada?”
Semua diam sejenak. Lalu, manajer proses mengangguk dan berkata,
“Ya juga, kenapa kita nggak pernah kepikiran?”
Dan dari situlah, perubahan dimulai.
***
Itu bukan kali pertama Kami melihat perubahan positif datang dari suara ‘anak baru’. Selama lebih dari 15 tahun Kami mendampingi berbagai perusahaan—mulai dari pabrik, bank, rumah sakit, asuransi, perkebunan, hingga pertambangan—Kami makin yakin bahwa Generasi Z punya potensi besar sebagai agen perubahan, khususnya dalam mendorong budaya perbaikan berkelanjutan.
“Continuous Improvement Itu Bukan Revolusi, Tapi Kebiasaan”
Banyak orang membayangkan CI sebagai proyek besar dengan tools rumit dan hasil dramatis. Padahal, CI lebih sering terjadi lewat hal-hal kecil yang dilakukan secara konsisten. Seperti:
- Bertanya: “Kenapa proses ini seperti ini?”
- Menemukan pemborosan waktu, tenaga, atau biaya yang sebelumnya dianggap wajar
- Mengusulkan ide perbaikan yang sederhana tapi berdampak
Dan inisiatif-inisiatif kecil ini sangat bergantung pada pola pikir.
“Mindset untuk terus belajar, berpikir kritis, dan berani menyampaikan ide.”
***
Hal ini bukan terjadi sekali dua kali. Dalam berbagai proyek perbaikan yang saya fasilitasi, pola ini terus muncul. Dan setelah diamati lebih dalam, ada benang merah yang menjelaskan kenapa Gen Z sangat potensial sebagai agen perubahan. Berdasarkan pengalaman Kami, ada tiga alasan kuat:
1.Terbiasa dengan Iterasi Cepat
Gen Z lahir dan tumbuh di era digital. Uji coba, evaluasi, lalu coba lagi—proses seperti ini sangat alami buat mereka. Pola pikir ini sejalan dengan prinsip perbaikan berkelanjutan yang mengandalkan eksperimen kecil dan perbaikan terus-menerus.
2.Berani Speak Up
Dalam budaya kerja yang masih hierarkis, suara karyawan muda sering kali tenggelam. Tapi Gen Z berbeda. Mereka terbiasa menyampaikan ide, mengutarakan pertanyaan kritis, dan menantang status quo.
Justru inilah yang dibutuhkan untuk menciptakan ruang perbaikan.
3.Melek Teknologi dan Data
CI saat ini tidak bisa dilepaskan dari teknologi. Gen Z sudah terbiasa menggunakan tools digital, memahami dashboard, dan mencari solusi lewat teknologi. Ini mempercepat identifikasi masalah dan pelaksanaan solusi.
***
Beberapa teman – teman Gen Z mungkin belum lama bekerja. Masih belajar. Tapi bukan berarti tidak bisa berkontribusi. Kadang, justru karena masih “baru”, teman-teman melihat proses kerja dengan cara yang lebih segar–belum terbiasa dengan kalimat “dari dulu juga begini”—dan itu modal yang sangat kuat untuk mendorong perubahan.
Jadi jangan ragu untuk bertanya.
Jangan takut untuk menyarankan.
Dan jangan merasa harus jadi senior dulu untuk membuat dampak.
Karena CI bukan soal posisi.
CI adalah soal kepedulian dan keberanian untuk membuat hal menjadi lebih baik.
Selamat datang di dunia Continuous Improvement.
Sebuah perjalanan panjang yang dimulai dari keberanian untuk bertanya, dan ketulusan untuk memperbaiki.
Salam Improvement!